Antara Hak Anak dan Kewajiban Ibu
ANTARA HAK ANAK DAN KEWAJIBAN IBU
Anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibunya. Anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Anak mempunyai hak-hak yang merupakan kewajiban orang tuanya, terutama ibunya, untuk menunaikan hak-hak tersebut. Jadi bukan hanya anak yang mempunyai kewajiban atas orang tua, tetapi orang tua pun mempunyai kewajiban atas anak. Secara ringkasnya kewajiban orangtua atas anaknya adalah sebagai berikut:
Pertama : Menyusui
Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan“. [Al Baqarah/2: 233]
Allah berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan“. [Al Ahqaf/46 : 15]
Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,” Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan maksudnya adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih”[1]
Kedua : Mendidiknya
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah dia senatiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlaqk yang baik yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia.
Mendidik anak bukanlah kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang Allah berikan kepada seorang ibu.
Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya seperti mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja, bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang kita harapkan menjadi generasi yang tagguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.
Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya :
1. Menanamkan Aqidah Yang Bersih Yang Bersumber Dari Kitab Dan Sunnah Yang Shahih
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah“. [Muhammad/47: 19].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : “Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas dia berkata,”Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau berkata,” Wahai anak, sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu : jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapatiNya dihadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah.dan apabila engkau mohon pertolongan maka mohonlah pertolngan kepada Allah. Ketahuilah seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yamg telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering”[2]
Dan dalam riwayat lain (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata) :”Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapatiNya dihadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah disaat kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu disaat sulit. Ketahuilah, apa-apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan ada bersama kesabaran dan bahwa kelapangan ada bersama kesempitan dan bahwa bersama kesusahan ada kemudahan”[3]
Seorang anak terlahir di atas fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.
2. Mengajari Mereka Shalat
Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Sabroh Radhiyallahu ‘anhu[4].
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah anakmu shalat, apabila mereka telah berumur tujuh tahun dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat) maka pukullah mereka“[5]
Dan hendaknya para ibu mengajari mereka bahwa shalat bukanlah hanya sekedar gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla, akan tetapi ia merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dari meninggalkan shalat dan berilah mereka ancaman dari perbuatan tersebut. Dan suruhlah mereka untuk senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ۙ ٥٩اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan kecuali orang yang bertaubat serta mengerjakan amal shalih..”.[Maryam/19: 59-60]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أمِرْتُ أنْ أقَاتِلَ النَّاسِ حتى يَشْهَدُوا أن لاَ إله إلا الله وَ أنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ الله وَ يُقِيْمُوْا الصَلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَكَاةَ فَإذَا فَعَلُوا ذَلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الإسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ على الله تَعَالَى
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa muhammada adalh utusan Allah, dan sampai mereka mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan itu, maka terjagalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali merupakan hak islam dan perhitungan mereka atas Allah“.[6]
Ibnu Hazm berkata,”Barangsiapa mengakhirkan shalat dari waktunya maka dia itu hina”[7]
3. Menanamkan Kecintaan Kepada Allah dan RasulNya dan Mendahulukan Keduanya.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حتى أكُوْنَ أحَبَ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلَدِهِ وَ النَّاسِ أجْمَعِيْنَ
“Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia””[8]
Dengan mennanamkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di hati anak-anak akan menyebabkan mereka menyambut seruan Allah dan RasulNya, dan ini merupakan motivasi dasar untuk seluruh yang mengikuti dibelakangnya.
4. Mengajari Mereka Al Qur’an dan Menyuruh Mereka Menghafalnya
Ini merupakan masalah besar yang hanya akan di dapatkan oleh orang yang berusaha sungguh-sungguh menghafalnya dan mengamalkannya. Hendaklah ibu memulainya dengan menyuruh menghafal surat Al Fatihah dan surat-surat pendek. Demikian pula hendaklah kita menyuruh mereka menghafal at tahiyyat untuk shalat.
Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan keutamaan itu semua, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
خَيْرُكُمْ مضنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang memepelajari al Qur’an dan mengajarkannya“.[9]
Para ibu pada masa kejayaan Islam, benar-benar memotivasi anak-anaknya untuk mendapatkan kebaikan, lebih-lebih al Qur’an, sebagaimana mereka mengusahakan kebaikan bagi jiwa anak-anaknya.
5. Membuat Mereka Cinta Kepada Sunnah Serta Menyuruh Mereka Menjaganya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya :
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ
“Barangsiapa mentaati Rasul itu, maka sesunguhnya dia telah mentaati Allah“. [An Nisaa/4 : 80]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang attinya :
وَمَاۤ اٰتٰٮكُمُ الرَّسُوۡلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰٮكُمۡ عَنۡهُ فَانْتَهُوۡا
“Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah“. [Al Hasyr/59 :7]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari hadits Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, yang artinya : “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintahkan kalian adalah budak dari Habasyah, karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat pentunjuk, peganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gerahammu”.[10]
6. Membuat Mereka Benci Kepada Bid’ah
Agama Islam adalah agama yang sempuna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali“. [An Nisaa/4 : 115]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ في النَّارِ
“Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka“.[11]
Jadi setiap bid’ah itu tertolak atas pelakunya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Adapun tentang pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka sebenarnya yang dimaksud yang dimaksud adalah bid’ah (perkara baru) secara bahasa saja bukan secara syar’iyyah.
7. Membuat Mereka Cinta Kepada Ilmu Syar’i dan Bersabar Dalam Mendapatkannya
Ilmu syar’i merupakan ilmu yang paling mulia. Allah telah memuji ilmu dan ulama lebih dari satu ayat dalam Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ
“Sesungguhnya yang takut kepada allah diantra para hamba-hambaNya hanyalah ulama“. [Fathir /35: 28]
Dan katakanlah, وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا ” Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu” [Thaha/20 : 114]
Dari Zar bin Hubasyi, dia berkata,”Aku mendatangi Shofan bin ‘Assal Al Muradi, lalu dia berkata,”Untuk tujuan apa engkau datang kemari” Aku menjawab, ”Karena mengharapkan ilmu”. Dia berkata,” Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka cari”
Belajar diwaktu kecil lebih baik daripada belajar di waktu dewasa, sebagaimana dalam sebuah sya’ir.
“Belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu”
Pada masa permulaan Islam para ibu memotivasi anaknya untuk menunutut ilmu (syar’i). Bahkan ada yang rela bekerja agar si anak bisa belajar Lihatlah bagaimana manusia memuji Sufyan Ats Tsauri[12] karena keluasan ilmu yang dimilikinya.
Al Auza’i berkata tentang Beliau,”Tidak ada orang yang padanya orang awam berkumpul dengan ridha dan lapang dada, kecuali satu orang di Kufah yaitu Sufyan”
Sufyan tidaklah mencapai apa yang telah beliau capai itu kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan ibunya yang shalihah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Waki’, dia berkata,” Ummu Sufyan berkata kepada Sufyan,”Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan aku akan mencukupimu dengan alat pemintalku”
Alangkah besarnya tokoh-tokoh yang keluar dari madrasah ibu.
Ibu adalah madrasah. Apabila engkau memeprsiapkannya, berarti
Engkau mempersiapkan generai yang kuat akarnya
Ibu adalah tamn. Jika engkua merawatnya, dia akan hidup
Dengan elok, tumbuh daunnya beraneka rupa
Ibu adalah guru pertamanya para guru,
Kemuliaanya terpancar menyebar sepanjang cakrawala
8. Mengajari Anak Minta Izin
Ini termasuk adab mulia yang penting untuk diajarkan dan dibiasakan oleh seorang ibu muslimah kepada anak-anaknya, khususnya jika anak hampir baligh. Islam telah memberikan batasan dan rambu-rambu tentang hal ini dengan jelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلٰثَ مَرّٰتٍۗ مِنْ قَبْلِ صَلٰوةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِّنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْۢ بَعْدِ صَلٰوةِ الْعِشَاۤءِۗ ثَلٰثُ عَوْرٰتٍ لَّكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌۢ بَعْدَهُنَّۗ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ وَاِذَا بَلَغَ الْاَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوْا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminya izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlha Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana“.[An Nur/24 :58-59]
Ayat-ayat tersebut menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum baligh untuk masuk kecuali setelah mendapat izin. Adapun selan tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk tanpa izin. Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang sebab minta izin pada tiga waktu tersebut perkataanya, ”Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar para budak ynag mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum baligh untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu, yaitu :
Pertama : Sebelum shalat fajar, karena manusia pada waktu itu sedang tidur di tempat tidur mereka.
Kedua : Ketika menanggalkan pakaian pada siang hari yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia seringkali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya pada waktu itu.
Ketiga : Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur, maka diperintah kepada para budak dan anak-anak (yang belum baligh) untuk tidak masuk kepada ahli bait tanpa izin pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan ketika itu seorang suami sedang bersama istrinya atau sedang melakukan hal lainnya[13].
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu”. Maksudnya yaitu apabila mereka masuk selain dari tiga waktu itu tanpa izin, maka tidak apa-apa atas kalian dan tidak pula atas mereka apabila mereka melihat sesuatu selain dari tiga waktu itu, karena telah diizinkan bagi mereka masuk tanpa izin dan karena mereka banyak berinteraksi dengan kalian untuk melayani kalian atau yang lainnya.[14]
Adapun bagi anak-anak yang telah baligh, maka mereka harus minta izin setiap waktu apabila ingin masuk. Al Auza’i berkata dari Yahya bin Katsir,”Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah baligh maka dia harus minta izin setiap waktu.[15]
Keharusan minta izin ini tidak hanya ketika akan masuk ke rumah orang lain saja, akan tetapi juga ketika masuk ke rumah yang hanya dihuni oleh ibu atau saudara perempuannya. Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, ”Apakah aku harus minta izin kepada ibuku?”, maka dia menjawab,”Jika engkau tidak minta izin kepadanya, engkau akan melihat apa yang engkau benci”[16]
Imam Al Bukhari meriwayatkan pula tentang keharusan seorang laki-laki minta izin kepada saudarinya. ‘Atha bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu tentang meminta izin kepada saudara perempuan, maka Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,” Ya,” Lalu aku ulangi lagi,”Dua saudariku itu berada dalam pemeliharaanku, aku yang menjamin dan menafkahi mereka, apakah aku harus izin?” Beliau menjawab,”Ya, apakah engkau suka melihat saudarimu sedang telanjang?”, kemudian beliau membaca, Al-Qur’an surat An Nuur ayat 58.
Kemudian Atha’ berkata,”Mereka diperintahkan minta izin kecuali pada tiga waktu itu,”. Ibnu Abbas membaca, firman Allah :
وَاِذَا بَلَغَ الْاَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوْا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meinta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. [An Nur/24: 59]
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Minta izin hukumnya wajib”. Ibnu Juraij menambahkan,”Atas setiap manusia”[17]
9. Menanamkan Kejujuran.
Jujur adalah sikap terpuji yang wajib kita menanamkannya kepada anak-anak kita. Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)“. [At Taubah/9 :119]
Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak, demikian pula hadits telah berulang menyitir akhlak terpuji ini.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga, dan sesungguhnya seseorang berkata jujur sehingga dia menjadi orang yang jujjur. Dan sesungguhnya kedustaan menunjukkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantar kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berkata dusta hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai pendusta“[18]
Berkata jujur adalah kemuliaan bagi anak-anak kita, dan hal ini tidak akan tersealisasi kecuali dengan berkata jujur dalam segala urusan.
Jika seseorang biasa berdusta dia akan senantiasa dianggap pendusta di hadapan manusia meskipun dia berkata jujur.
10. Menanamkan Sifat Sabar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab“.[Az Zumar/39 :10]
Dan juga firmanNya Azza wa Jalla :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar“. [Al Baqarah/2 : 153]
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
عَجَبًا لأمْرِ المُؤْمِنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ. وَ لَيْسَ ذلِكَ إلاَّ للِمُؤْمِنِ إنْ أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَ إنْ أصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sesunguhnya semua urusannya adalah baik baginya, dan hal itu tidak terjadi kecuali bagi orang yangberiman. Apabila dia diberi kesenangan maka dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan maka dia bersabar, dan itupun baik baginya“[19]
11. Menyadarkan Mereka Tentang Berharganya Waktu
Sesungguhnya menjaga waktu akan menanamkan sifat menepati janji pada waktunya, demikian pula harus diperhatikan untuk menyeleaaikan suatu pekerjaan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Allah menganjurkan kita untuk menyusun jadwal kegiatan dan mengerjakannya pada waktu yang telah direncanakan. Dan waktu sangat terbatas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman“. [An Nisaa/4 : 103]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Amal apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab,”shalat pada awal waktunya….”[20]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan masalah shalat karena shalat dilakukan berulang lima kali sehari semalam. Apabila seseorang menjaga shalatnya dan melaksanakannya pada awal waktunya, maka hal akan menanamkan kedisiplinan dan pemanfaatan waktu. Dan agar dia akan menjadikan waktu sehat dan luangnya sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan, karena umur itu terbatas. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصَّحَّةُ وَ الفَرَاغُ
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang”[21]
Para salafus shalih dan orang-orang yang meniti jalan mereka adalah manusia yang paling ketat dan paling bersemangat dalam menjaga waktu, yakni dengan memanfaatkan dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan dan hal-hal bermafaat.
12. Menanamkan Sifat Pemberani
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَيُقْتَلُوْنَ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.” [At Taubah/9 : 111]
Dari Abu Aufa Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
وَ اعْلَمُوْا أنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ
“Dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang“[22]
Ibnu Hajar berkata Al Qurtubi berkata,”Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas termasuk ucapan yang indah, singkat tapi padat, memiliki gaya bahasa nan indah, ringkas dan lafazhnya bagus. (Ucapan) ini memberi faedah anjuran untuk berjihad, dan mengabarkan pahalanya, serta anjuran untuk menghadapi musuh menggunakan pedang serta bersatu ketika perang sehingga pedang menaungi orang-orang yang sedang berperang”[23]
Ibnul Jauzi,” Maksudnya adalah surga dapat diraih dengan jihad”[24]
Pada periode awal Islam, para ibu menjadi penolong dan pendorong anak-anaknya agar memiliki sifat pemberani. Dalam sejarah kita mempunyai contoh-contoh tentang hal itu. Sebutlah Abdullah bin Zubair bin Awwam, ketika dia keluar untuk memerangi Hajjaj bin Yusuf, tidak ada bersamanya dan tidak ada orang disekelilingnya kecuali sedikit orang. Ia mengadu kepada ibunya Asma tentang ketidak pedulian manusia dan sikap diam mereka terhadap Hajjaj sampai orang yang paling dekat denganya sekalipun. Abdullah menanyakan pendapat ibunya. Lalu apakah yang dikatakan oleh wanita yang berjiwa besar ini ? Apakah ia berkata kepada putranya “Tinggalkanlah urusan ini” karena ia khawatir akan keselamatan putranya yang merupakan darah dagingnya ? Yidak, demi Allah, bahkan ia memompakan keberanian dan kesabaran sampai ia mati syahid.
Dengan keberanian dan jihad semacam inilah akan tegak berdiri daulah islamiah yang diharapkan, dengan izin Allah Azza wa Jalla.
13. Bersikap Adil Diantara Anak-Anak.
Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ
“Bersikap adillah diantara ank-anakmu, adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu”[25]
Pada akhir dari pembahasan ini, ingin aku sitirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan Luqman Al Hakim kepada anaknya sebagai nasehat atas anak.
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ١٧ وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ ١٨ وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) menerjakan kebaikan dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang manimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburk-buruk suara adalah suara keledai“. [Luqman/31: 17-19]
Saudariku muslimah, sesungguhnya anak-anak kita adalah amanah yang Allah Azza wa Jalla titipkan kepada kita, dan Allah Azza wa Jalla akan menanyakannya kepada kita apakah kita menjaganya atau menyia-nyiakannya. Maka wajib atas kita untuk menjaga amanah ini, dengan keyakinan kita sedang mendidik generasi muslim, kita persiapkan mereka agar menjadi generasi kuat untuk menghadapi orang-orang yang menyimpangkan Al Kitab dan Assunnah. (Salamah Ummu Ismail).
Wallahu waliyyut Taufiiq
(Ditejemahkan oleh Salamah Ummu Ismail dari buku berjudul Wajibatul Mar’atil Muslimah ‘ala Dhou’il Kitab Was Sunnah hal.103-127 karya Ummu ‘Amr binti Ibrahim Badawi)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VII/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1] Husnul uswah hal.215
[2] H.R Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih
[3] H.R Selain Tirmidzi
[4] Sabrah yakni Ibnu Abdil Aziz bin Rabi’ bin Sabroh Al Juhani
[5] Dikeluarkan oleh Abu dawud (494), Tirmidzi (407) dan dia berkata,”Hasan shahih”. Ad Darimi (1/333), Ibnul Jarud (147), Ibnu Khuzaimah (1002), Hakim (1/201) dan dia berkata,’ Sahih atas syarat Muslim dan disepakati oelh Adz Dzahabi” Berkata Al Albani dalam Al Irwa’ (1/267),” Dan dalam apa-apa yag dikatakan keduanya perlu diteliti karena Muslim hanya mengeluarkan satu hadits saja dari Abdul Malli ini dalam hal mut’ah sebagai pendukung sebagaimana yang disebutkan oelh Al Hafizh dan lainnya. Hadits ini sanad-sanadnya dha’if akan tetapi dia mempunyai syahid yang menguatkannya kepada derajat shahih dari hadits Ibnu Amr
[6] H.R Al Bukhari (25) dan Muslim (1/200 Nawawi)
[7] Al Muhalla (2/239)
[8] H.R Al Bukhari (14) Muslim (2/15 Nawawi), Ibnu Majah (67), Ad Darimi (2/307), Ahmad (3/77), Abdurrazzaq (2032), Ibnu Hazm dalam al Muhalla (10/333)
[9] H.R al Bukhari (5027), Abu dawud (1452), At Tirmidzi (2907-2908), Ibnu Majah (211,212), ahmad (405,412, 413,500) Ath Thayalisi (1880) dan Ad Darimi (2/437)
[10] H.R Abu dawud (4607), Tirmidzi (2676) dan di berkata,” Hasan shahih”, Ibnu Majah (42), Ad Darimi (1/44,45), Ahmad (4/126,127), Hakim (1/97), Ibnu abdil bar dalam Jami’ul ilmi 92/17,172)
[11] H.R Tirmidzi (96/3535), Nasai (1/83), Ibnu Majah (284), ad Darimi (1/101), Ahmad (4/239,240), Ibnu Khuzaimah (17/193,196), Asy syafi’i dalam al Umm (1/34,35), Hakim (1/100), Ibnu Abdil bar dalam al jami’ 91/32), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (2/830, Ibnul Jarud 94), Humaidi (881)
[12] Beliau adalah salah seorang imam dari enam madzhab, beliau adalah amirul mu’minin dalam hadits. Syu’bah, Ibnu Mubarak, Abu ‘Ashim, Ibu mu’ayyan dan lebih dari satu ulama lainnya, berkata,”Sufyan adalah amirul mu’minin dalam hadits” Ibnul Mubarak berkata,”Aku menulis dari seribu seratus syaikh, tidaklah aku menulis yang lebih utama daripada Suyan (At Tahdzib 4/112,113). Dikatakan pula bahwa Sufyana adalah penduduk dunia yang paling faqih (Siyar Alamin Nubala)
[13] ‘Audatul Hijab karya Muhammad Ismail (2/143) dinukil dari Al Imam Sufyan Ats Tsauri” karya Muhammad Abul fath Al Bayanuni
[14] Tafsir Ibnu Katsir (3/303,304)
[15] Tafsir Ibnu Katsir (3/303,304)
[16] Al Adabul Mufrad (1060)
[17] Al Adabul Mufrad (1063)
[18] H.R Al Bukhari (6094), Muslim (16/60 Nawawi), Abu Daud (4989) , Tirmidzi (1972) dan dia berkata,”Hasan Shahih”
[19] H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[20] H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[21] H.R Al Buhari (527), Muslim (2/73 nawawi, Tirmidzi (173) dan dia berkata,”Hasan Shahih”, Nasaai (1/292), Ad Ddarimi (1/278), Ahmad (1/409,410,439), Humaidi (103), Thabrani dalam Ash shagir (446), Al Baihaqi dalam Al I’tiqad hal.42
[22] H.R Al-Bukhari
[23] Fathul Bari (6/33)
[24] Fathul Bari (6/33)
[25] H.R Abu Dawud 93544), Nasai (6,262), Ahmad (4/275,278,375)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1763-antara-hak-anak-dan-kewajiban-ibu.html